Ini Aku, Bukan Mereka !
Aku, menundukkan kepala. Air mata mulai membanjiri kedua mataku. Reflek, terdengar isak tangis lirih dari bibirku. Beberapakali aku mengusap butiran – butiran kristal yang mengalir di kedua pipiku, hati penuh kata – kata kotor dan kasar, otak berusaha istighfar.
“ Sudah jangan menangis, jadikan ini sebuah pelajaran bagimu, dan saya harap, semoga ini pertama dana terakhir kalinya kamu memakai jilbab pelanggaran dan jangan pernah kau berbuat kesalahan yang ujung – ujungnya kamu menggunakan jilbab pelanggaran.” Ucap ukhti Arza, pengurus keamanan asrama puteri. “ Tapi, sayakan cumakeluar asrama tidak izin. Kenapa saya yang baru satu kali langsung memakai jilbab pelanggaran ? Sedangkan ukhti Arra yang sering tidak izin pas keluar asrama saja , kenapa gak pernah di iqob ? “ balasku tersenyum sinis, menatapnya dengan tatapan dendam, marah.
Ukhti Arra terdiam sejenak, meresapi. “ Tapi, kamu pergi Bersama laki – laki yang bukan mahromnya kamu Athaya ! “., “ Tapi dia saudaraku ! “ balasku sentak. “ Iya kami tau, tapi itu bukan mahrommu, Athaya “ balas ukhti Fafa bagian anggota keamanan. “ Iya tau, tapi kalua orang tua saya gak bisa menjenguk saya, terus siapa yang mau menjenguk ? Sedangkan saya anak tunggal, iya kalua saya punya kakak kandung. Dan sekarang intinya gini, kemarin banyak ukhti – ukhti pengurus melihat ukhti Arra berboncengan dengan laki- laki, tetapi kenapa gak di iqob ? Atau gara – gara ukhti Arra punya masa lalu yang buruk sehingga dia berubah jadi nakal ? ya, saya juga punya, punya masa lalu yang buruk sampai – sampai saya berubah jadi kayak gini, masa lalu dimana saya sering di bully, dan lainnya. Saya disini hanya menginginkan sebuah keadilan, keadilan yang nyata. Atau gara – gara ukhti Arra adalah pengurus, sampai – sampai gak diiqob ? Sudahlah, percuma saya jelaskan Panjang lebar tapi gak pernah diresapi.” balasku, menatap marah. Ukhti Arza dan yang lainnya terdiam, eribu Bahasa.
Aku mengangguk pelan,seolah mengerti apa yang pengurus katakana, sembari mengusap sisa butiran kristal yang masih mengalir. “ Afwan ukhti ana uriddu ilal hujroh.” ucapku, terenyum sinis. Tanpa menunggu jawaban, aku langsung keluar dari ruang mahkamah amn. Keesokan harinya…….
“ Intibahan – intibahan, Qismul Amn.ini peringatan untuk kalian semua dan semoga ini menjadi pertama dan terakhir kalinya ada kasus seperti ini. Jadikan ini semua sebuah pelajaran.” ucap ukhti Arza lantang dihalaman sekolah. Aku hanya tersenyum sinis. Semuanya menundukkan kepala, takut. “
Masa – masa hukuman telah selesai. Aku tersenyum sinis, mengembalikan jilbab pelanggaran dan menyerahkan semua hukuman tertulis. Tanda tangan jajaran petinggi dan pengurus, surat pernyataan, satu karya tulis, dan surah Al – Baqorah ayat 1 – 286.” Jangan diulangi lagi, Athaya.” ucap ukhti Arza memecah keheningan. Aku tersenyum sinis, berbalik badan menuju ke kelas, keluar ruangan tanpa pamit.
“ Athaya, Athaya……., kamu dipanggil Ustadzah Nia suruh ke kantor sekarang, soalnya udah di tunggu dari tadi.” ucap Riza teriak dari kejauhan, “ owh ya, na’am syukron Riz.” balasku teriak. Takut, bertemu guru killer satu madrasah. Mengucap salam, berjalan pelan menuju meja ustadza Nia. “ nduk Athaya sini, masuk saja.” ucap ustadzah Nia setelah melihatku dari cermin. “ owh,iya dzah, lahdzotan ustadzah.” balasku pelan. “ Athaya , selamat , kamu menang lomba IPA juara 3 dan kamu sekarang harus lanjutke tingkat nasional, kalua kamu tak berkenan mengikuti lagi atau lanjut tak apa, tapi ustadzah harap kamu tetap melanjutkannya, eman – eman. Kamu udah kerja keras. Pikirkan baik – baik. Ini, ustadzah harap kamu mengisinya. “ ucap ustadzah Nia, berharap penuh. “ Na’am ustadzah, saya coba pikirkan baik – baik. Afwan ustadzah, saya mau ke kelas. “ balasku memecah keheningan di ruang kantor. Mengangguk pelan tersenyum lesung pipit, balasnya.
Berjalan pelan ke midho’ah masjid, sholat dhuha. Kabur pelajaran sebelum istirahat. Pagi berganti siang, siang berganti sore, dan sore berganti malam, terasa begitu cepat. Belajar malam.
“ Halah apaan, menang juara lomba tapi kelakuannya naudzu billah. Percuma kalua berprestasi, membanggakan madrasah tapi dirinya sendiri kayakgitu. Jangan – jangan kemarin pas daring lomba IPA nya nyontek buku atau enggak buka google, huh dasar. Santri apaan kayak gitu, malu – maluin angkatan aja.” ucap Riza, nyindir. Sontak kelas menjadi rame kayak pasar. Entah dari mulut siapa kompor itu bisa menyala. Satu persatu santri ngeluarin unek – unek , aib atau entah yang lainnya tentang aku. “ huh, udahlah bodoamat bukan urusannya aku, lagian mereka siapanya aku. Ngurusin hidupnya aku, kompor gak akan nyala tanpagas, paling gasnya dia.” ucap aku, di hati.
Aku yang masih bingug tentang lomba, termenung di balkon asrama, pulang belajar malam. “ Da’watan ila ukhtina Athaya , Athaya , bihudhuri ila amama hujroh ustadzah haalaan.” ucap seorang pengurus di mikrofon, memecah lamunanku. Berjalan santai menuju kamar ustadzah, “ halah paling suruh kedepan kamar ustadzah mau disidang lagi.” ucap seseorang entah dari mana asalnya. Bodoamat, bukan urusanku, aku membatin.
“ Tok tok tok , Assalamu’alaikum ustadzah, gimana ustadzah ? kenapa memanggil saya ? “ ucapku mengetuk pelan kamar ustadzah. “ ow hiya, ini nduk Athaya ya ? kalua iya keruang tunggu asrama ya, ustadzah mau siap- siap dulu.” balas ustadzah didalam, entah ustadzah siapa. “ na’am ustadzah, ini Athaya, syukron.” balasku teriak sopan.
Entah apa yang kupikirkan saat ini, bodo amat aja lah. Aku, membukapintu gerbang ruang tunggu asrama, dengan pelan.” Eh , nduk Athaya, nduk ustadzah mau nyampein kabar dari rumah.” ucap ustadzah Ami memecah keheningan di ruang tunggu. “ iya ust, kabar apa ?” balasku kaget, kata kabar tanda tanya besar. “ Emm, kamu yang kuat ya kalua udah denger kabar ini.” balas ustadzah Isti, satu musyrifah dengan ustadzah Ami. Aku mengangguk pelan, peuh tanda tanya besar di otak.
Aku berkaca – kaca. Reflek , aku menangis keras. Entahlah, rasanya ingin mati sekarang juga. Astaghfirullah.
“Berhentilah menangis Athaya. Kamu kuat, kamu anak hebat, maaf ustadzah nggak tau harus bilang gimana lagi. Sekarang terserah nduk Athaya mau gimana. Kalau mau pulang, ustadzah antar kalau tidak ya disini, mantapkan pikiranmu. Keep strong dan ikhlaskan athaya” ucap ustadzah Ami menangis. “Sudah Athaya kamu nak kuat kok” ucap ustadzah Isti, memeluk dan menangis.
Aku mengangguk pelan, sembari mengusap sisa-sisa butiran kristal yang mengalir. Memikirkan semuanya. Bimbang, sedih, kecewa, khawatir campur aduk menjadi satu di otak dan hati, bimbang. “ maaf” satu kata yang simple tapi sulit diungkapkan. Aku berjalan pelan menuju ke kamar, setelah pamit entah dari mana ada pemikiran, tiba-tiba mengambil bolpen lalu menulis sesuai peritah yang sudah tertera. Entahlah, aku juga bingung kenapa aku menulis itu.
Keesokan hrinya, aku menyerahkan sebuah kertas yang kutulis setelah menangis tadi malam, ragu-ragu memantapkan hati. “assalamualaikum, ustadzah apa ada ustadzah Zia, ust?” sapa ku masuk kantor. “ waalaikumsalam, masuk aja nduk, kayaknya di dalam ada” balas ustadzah Nia, sekretaris sekolah. “ow hiya ust, syukron” balasku lagi.
“ eh iya nduk gimana, ada yang bisa ustadzah bantu?” ucap ustadzah zia setelah melihatku.” Ini ust” balasku “ oke nduk Athaya, makasih. Ustadzah percaya kamu anak yang cantic, baik, pintar, jujur, dan tabah. Ustadzah turut berduka cita atas meninggalnya ayah kamu tadi malam. Athaya, kamu anak yang kuat, anak yang tabah. Terimakasih, ustadzah bangga punya seorang santri seperti Athaya, rela gak pulang demi membanggakan orang yang di sayangi. Maaf, ustadzah juga jadi menyita waktunya Athaya buat pulang, buat lihat ayahnya yang terakhir kalinya.ustadzah juga harap, Athaya buat lebih fokus untuk lomba IPAnya plus fokus ujian. Sekarang kamu udah kelas 9, jangan sampai satu kesedihan membuatmu tak fokus pada tujuanmu.” ucap ustadzah Zia berkaca – kaca, tak tega.
Reflek. Aku menangis lirih,mengangguk pelan, meresapi semuanya, Benar ! aku berjalan pelan setelah pamit, dengan tatapan kosong, mengambil air wudhu dan sholat, sholat Dhuha.
Di serambi masjid dengan tatapan kosong. Tiba – tiba dari belakang ada yang memelukku, menangis. “ Maafkan aku Athaya, aku dan teman – teman menyindirmu yang bukan bukan. Aku tak tau seberapa keras kamu belajar dan memenangkannya. Aku mewakili teman – teman meminta maaf atas kejadian tadi malam dan turut berduka cita, huhuhu……..maafkan aku Athaya.” ucap Riza. Aku tersentak kaget.” Bagaimana mereka bisa tau ?” aku membatin. “ Aku dan teman – teman tau karena dikasih tau oleh ustadzah Ami.” ucap Riza, seolah dia tau apa yang sedang aku pikirkan. “ Sekali lagi maafkan aku Athaya……” ucap Riza lirih, menangis dalam pelukn. Aku menatapnya sendu, mengangguk pelan dan tersenyum.” Allah Yuftah Alaikum, Athaya.” “ Na’am syukron, za.” balasku pelan.
Dua hari berlalu denga sangat cepat, tapi santai.
“Athaya, semoga usahamu tak sia – sia. Bismillah, kamu pasti bisa.” Ucap teman – teman satu persatu, memelukku.” Na’am syukron. Do’akan aku.” balasku “ Selalu Athaya” balas mereka, tersenyum. “ Ayo Athaya, kita berangkat, ini sudah telat.” ucap ustadzah Zia, memecahkan suara untukku. “ na’am ustadzah , afwan.” balasku tersenyum.
Beberapa jam kemudian, sampailah di tempat lomba. Ucapan selamat dating menyambut kami di depan gerbang. Jantungku berdetak semakin kencang, hati berusaha menenangkannya. Bismillah, memasuki ruang lomba, ya kita terlambat, jadi gak ikut acara pembukaan. Pikiran dan hati menyeimbangkan. Bismillah aku bisa.” Athaya, semangat. Ustadzah percaya kamu bisa, Hamasyah.” ucap ustadzah Zia, menyemangati. Aku menganggu pelan, tersenyum.
Bismillah, aku mengawalinya. Menghitung nilai – nilai dari rumus fisika yang rumit di pikiran, perlahan tapi pasti. Sembari menunggu waktu selesai, aku menyempatkan mengecek ulang jawabanku.” Perhatian – perhatian. Lomba IPA tingkat nasional 2020 telah selesai, harap lembar soal dan jawaban di kumpulkan ke pengawas ujian. Dan untuk seluruh peserta dan pembimbing harap segera ke ruang aula untuk menikmati hidangan yang telah disiapkan serta beberapa pertunjukan, sekian dan terima kasih.” ucap seseorang di pengeras suara.
“ ayo, Athaya. Kita sholat dhuha terlebih dahulu.” Ucap ustadzah Zia setelah aku keluar ruangan. “ Na’am ustadzah.” Balasku tersenyum lega. Setelah sholat dhuha kita berjalan ke aula, menikmati hidangan dan pertunjukan. Dua jam kemudian,” Perhatian – perhatian, maaf ini keralatan, bahwa pemenang lomba akan di umumkan hari ini juga. Bismillah, pemenang lomba IPA tingkat nasional 2020 adalah Juara III Khoirunnisa Mutiara Sheila dari kota Kebumen, Juara II Bintang Callosa Collolangi dari kota Kendal, dan Juara I nya adalah……. Azzaransya Tsabita Athaya dari kota Wonosobo. Harap peserta pemenang lomba untuk segera menuju panggung beserta pembimbingnya.” Ucap seorang pembawa acara, riuh tepuk tangan memenuhi ruangan aula.
Aku, tersentak kaget tak percaya. Ustadzah Zia, tersenyum bahagia menatapku mengangguk. Berjalan pelan ke panggung. Serah terima piagam, piala, medali perak dan uang tunai, selesai. Aku tersenyum bahagia, “ Athaya, mau pulang jam berapa ?” ucap ustadzah Zia.” Kalau semuanya sudah selesai, sekarang aja gak papa kok ust.” balasku.” Oke sekarang aja ya biar gak pulang malam.” balas ustadzah Zia. Aku mengangguk.
“ Ustadzah apa boleh saya ke makam ayah sebentar ? kalau enggak boleh enggak papa kok ust.” Aku tersenyum memelas. “ Iya, ayo gak papa kok , tapi sebentar aja ya…..ustadzah izinkan ke bagian perizinan dulu.” Balas ustadzah Zia tanpa pikir panjang, seolah mengerti apa yang kurasakan. “ Syukron ustadzah” jawabku semangat.
Sesampainya dirumah, masih banyak orang yang datang melayat. Ibu menatapku berkaca – kaca. Reflek, aku menangis dalam pelukan ibu. Ustadzah berusaha menenangkanku. Aku menatap ibu, dan mengangguk, seolah Ibu tau apa yang sedang aku pikirkan. Berjalan pelan, menangis ke makam.
“ Ayah maafin Athaya…. Maaf jika selama ini Athaya punya salah sama ayah, sering buat ayah marah, buat ayah kesel, buat ayah kecewa, buat ayah khawatir dan masih banyak lagi, Athaya minta maaf ayah….” Ucapku menangis, masa lalu itu kembali terbayang – bayang.” Ayah sudah maafkan Athaya, sudah Athaya jangan nangis lagi nanti ayah jadi sedih.” Ucap Ibu, berkaca – kaca.” Maafkan Athaya ayah, maaf Athaya nggak bisa lihat ayah yang terakhir kalinya. Athaya bingung harus milih yang mana, maafkan Athaya ayah. Ayah lihatkan, Athaya sekarang disini membawa apa ? Athaya membawa impian – impian ayah. Athaya sudah berjanji sama ayah dan sekarang janji Athaya sudah lunas, tapi kenapa ayah harus pergi dulu ….. “ ucapku setelah bangga dan menyesal. “ ayah sudah maafkan Athaya. Ayah sekarang lihat Athaya bawa apa kok. Ayah disana pasti seneng punya anak kayak Athaya. Bangga “ ucap ibu menyemangati.
Aku menangis kencang. Air hujan perlahan turun setelah mengikuti apa yang sedang kurasakan. Ibu dan ustadzah Zia berusaha membujukku untuk pulang dan aku kukuh duduk memeluk papan kayu. “ Athaya…” teriak seseorang, suaranya aku kenal. Riza yang engawali dan teman – teman mengikutinya, memelukku, menguatkan. Mereka, seolah juga merasakan, menangis memaksaku untuk pulang. Aku , tetap kukuh disitu, tak pedui.” Athaya ayo pulang, kamu basah kuyup nanti demam, Athaya…. Ikhlaskanlah , biarkan ayahmu tenang disana… “ ucap Riza membujuk, teman – teman yang lain pun ikut membujukku.
Benar, yang dikatakan ibu, ustadzah Ami,Riza dan teman – teman, semuanya benar. Aku mengangguk pelan, meminta waktu untuk sendiri bersama ayah, mereka memaklumi. “ Athaya, ayo pulang, sudah hamper maghrib.” Ucap Riza, menemaniku disamping pusaran ayah memayungi kami berdua. Aku mengangguk pelan, “ Ayo Riza, makasih.” balasku, sembari mengusap sisa – sisa butiran air mata. Riza mengangguk pelan, tersenyum seolah dia berkata “ kamu anak yang hebat Athaya..”
Senja sore, menghiasi langit – langit. Hujan berhenti mendadak, terdengar suara kicauan burung. Seolah mereka menyemangatiku. Ini aku, ini diriku, dan ini jalan takdirku.
“ Nenenk moyangku adalah seorang pelaut, bukan yang lain.
Jadi gelombang arus kehidupan akan tetap ada dan selalu ada.
Jadi jaga layarmu agar tetap berkembang dan pertahankan diri
dari keseimbangan arus. Jadi, kamu tetap harmonis dengan alam.”
_Motto hidup Sha_
Temanggung, 24 Oktober 2020
Shafira Amalia Fatma